PULUHAN saudara-saudara kita dari Minangkabau, Bugis, dan tentu juga dari Papua, tewas. Mereka saling berhadap-hadapan, saling berbunuhan, dan saling memusnahkan. Papua masih harus terus diwaspadai agar tidak lagi memanas.
Wakil Gubernur Sumbar, Nasrul Abit, Sabtu dan Ahad (29/9/2019) meyambangi ratusan saudara-saudaranya sekampung, di pengungsian, di Wamena. Sebagai walinegara, sang Wagub, menawarkan untuk pulang.
“Tadi saya minta izin, barangkali kami diizinkan ke Sentani sementara, terutama perempuan dan anak-anak. Kami tidak akan tinggalkan daerah ini (Papua),” ujar Nasrul seperti dikutip Antara.
Padahal, masih kata wagub :
Baca Juga:
Begini Tanggapan Bos Apple Saat Presiden Jokowi Minta Bangun Pabrik Manufaktur Apple di Indonesia
Sempat Tembus Rp16.000/ Dolar AS, BI Beber Sejumlah Upaya untuk Jaga Stabilisasi Nilai Tukar Rupiah
“Mereka sudah ada di tanah Papua sangat lama. Ada yang sudah setengah abad, 53 tahun di sini (Wamena). Sudah beranak-pinak di sini. Sudah merasa bahwa tanah Papua adalah tanah tumpahnya juga,” lanjut sang Wagub seperti ia sampaikan di radio Elshinta.
Tapi, sekarang, mereka semua takut dan trauma. “Selama ini mereka sudah berhubungan sangat baik dengan saudara-saudara kita yang asli Papua,” lanjutnya.
Horizontal
Saat ini, sika atau tidak, langsung atau tidak, mereka sudah saling berhadapan. Satu pihak mempertahankan diri, satu pihak dikabarkan menyerang.
Baca Juga:
Tim Gabungan Berhasil Temukan 20 Korban dalam Insiden Tanah Longsor Tana Toraja, Sulawesi Selatan
Tim Gabungan Berhasil Temukan 20 Korban dalam Insiden Tanah Longsor Tana Toraja, Sulawesi Selatan
Bahkan dalam rusuh atau tepatnya dalam serangan pekan lalu, seorang dokter, maaf, dibakar hidup-hidup. Demi Allah, sakit dan pedih harus menuliskan kembali fakta ini. Ada bocah-bocah balita yang ikut pula jadi korban. Sungguh pedih.
Sama pedihnya ketika kita membuka-buka file terkait saudara-saudara kita asli Papua yang berpuluh tahun juga telah jadi korban. Meski, tentu kita tidak benarkan jika kemudian mereka lampiaskan dendam dengan sesama mereka yang bukan asli Papua saat ini. Kekerasan atas nama apa pun, tidak dibenarkan.
Pertanyaannya, di mana negara? Di mana pemerintah? Di mana semua pelindung rakyat itu? Lalu, jika tinggal di negara sendiri sudah tidak nyaman, masih pantaskah kita sebut ada negara? Ada pemerintah?
Di tanah Papua, saat ini, kita membutuhkan kerja nyata dan fakta, bukan sekadar kata-kata: “Papua saat ini sudah kondusif!”. Bukan, bukan hanya itu. Kita butuh ada pihak yang mampu menjaga agar perang horizontal tidak terjadi.
Baca Juga:
Sebanyak 338 KK Terdampak Banjir Pesawaran, Lampung Akìɓàt Meluapnya Sungai Way Padang Ratu
VIDEO: Hari Kedua Lebaran, Prabowo Subianto Ucapkan Maaf Lahir Batin ke Rekan-rekan Media
Semen Padang
Saya ingin menutup tulisan ini dengan kisah Semen Padang dan tanah Papua. Secara geografis Papua di ujung Timur dan Semen Padang, nyaris di ujung Barat negeri, sangatlah jauh. Tapi, secara emosional keduanya punya ikatan yang luar biasa dekatnya.
Ada lebih dari sebelas pemain sepakbola asli Papua yang sudah berlaga di klub Semen Padang. Tujuh di antaranya juga merupakan tulang punggung tim nasional, PSSI. Empat di antaranya menjadi bintang nasional justru setelah bergabung dengan klub Kabau Sirah itu.
Herman Pulalo, Alexander Pulalo, Elie Aiboy, Boas Salossa, Erol Iba, Totus Bonai, Vendy Mofu, Elthon Maram, Fridolin Yoku, Jefri Kewoe, Rendi Oscario, dan Ananias Fingkreuw. Enam nama pertama adalah para pemain yang juga tergabung di timnas.
Lalu yang paling mendalam pada tanah Minang adalah: Herman dan Alexabder Pulalo, Elie Aiboy, dan Boas Salossa. Setiap ketiganya muncul, orang selalu saja sulit memisahkan ketiganya antara Semen Padang dan Tanah Papua. Ketiganya sangat identik dengan Minang dan Papua.
Malah, empat di antaranya Herman, Elie, Erol, dan Vendy beristrikan gadih-gadih Minang. Tidak sampai di situ, keempatnya pun menjadi mualaf. Elie dan Erol, termasuk mualaf yang shaleh.
Jadi, jika boleh saya berharap untuk seluruh saudara-saudara saya di tanah Papua, jika melihat saudara-saudara saya dari tanah Minang, ingat pulalah pada Herman dan Alexander Pulalo, Elie Aiboy, Boas Salossa, Vendy serta yang lainnya. Mereka adalah Semen Padang, mereka adalah Papua. Artinya mereka adalah saudara-saudaramu sendiri.
Begitu juga dengan saudara-saudara kita yang berasal dari Bugis, serta dari luar Papua lainnya. Kita semua bersaudara. Jangan biarkan ada sesuatu yang membakar diri kita untuk saling berhadapan. Jangan biarkan amarahmu dilampiaskan dengan cara-cara seperti itu. Jangan biarkan kita diadu-domba untuk dan atas nama kepentingan lain.
Ayo, mari kita perlihatkan kepada mereka yang ingin mengadu bahwa kita, rakyat bukanlah pejabat. Kita rakyat adalah satu. Kita tak perlu berteriak: “Aku Indonesia, aku pancasila!”. Tapi begitu ada geliat di Papua, ada korban berjatuhan, malah asyik bersepeda, malah asyik bertemu dengan para relawan. Sekali lagi kita adalah saudara.
[Oleh: M. Nigara. Penulis adalah Wartawan Senior Indonesia]